Jacob Ereste: Fenomena Purbaya Yudhi Sadewa Uji Keberpihakan Kita — Pro Rakyat atau Pro Begundal?


Jakarta, kabarpersbhayangkara.com — Fenomena politik dan kebijakan yang melibatkan Purbaya Yudhi Sadewa sejak dirinya dipercaya sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia kini menjadi bahan perbincangan luas di berbagai kalangan. Tak hanya di lingkaran politik nasional, tetapi juga di ruang-ruang diskusi publik seperti Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI).

Dalam forum yang digelar Kamis–Senin, 23 Oktober 2025, tokoh sekaligus pemerhati sosial Jacob Ereste menilai kemunculan Purbaya Yudhi Sadewa dapat menjadi “alat ukur moral” bagi masyarakat dan elite politik — apakah berpihak kepada rakyat atau justru kepada kelompok kepentingan yang selama ini menikmati privilese kekuasaan.

“Fenomena Purbaya bisa menjadi cermin untuk menilai siapa yang benar-benar berpihak pada rakyat, dan siapa yang sekadar menjaga kepentingan para begundal kekuasaan,” ujar Jacob Ereste dalam diskusi yang juga dihadiri sejumlah aktivis dan pengamat kebijakan publik.

Jacob Ereste mengamati bahwa langkah-langkah dan pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa seringkali menimbulkan reaksi beragam — dari apresiasi hingga kecemburuan politik. Di lingkaran Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto, sejumlah menteri senior disebut merasa tersisih secara reputasional.

Sementara itu, di tengah masyarakat, popularitas Purbaya meningkat seiring keberaniannya mengangkat isu ketimpangan sosial, korupsi, dan proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang dinilai belum berpihak kepada rakyat.

Menurut diskusi GMRI, berbagai proyek besar seperti kereta cepat Jakarta–Bandung, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga proyek energi dan pangan — kerap dianggap lebih menguntungkan kelompok elit ketimbang masyarakat kecil.

“Selama keadilan ekonomi dan politik belum ditegakkan, rakyat akan terus menjadi korban dari sistem yang timpang,” ungkap peserta diskusi lain.

Forum GMRI juga menyoroti kesenjangan penghasilan ekstrem antara pejabat negara dan rakyat kecil.
Misalnya, penghasilan tahunan anggota DPR RI yang bisa mencapai lebih dari Rp 2,5 miliar, sementara upah minimum pekerja (UMR) di sejumlah daerah masih berkisar Rp 5 juta per bulan.

Kesenjangan ini, menurut GMRI, berkontribusi terhadap munculnya gejolak sosial seperti penjarahan dan aksi protes massal pada Agustus–September 2025, yang mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap ketidakadilan ekonomi dan hukum di Indonesia.

Fenomena Purbaya juga dikaitkan dengan dorongan untuk mempercepat Reformasi Polri.
Jacob Ereste menilai, upaya pembenahan hukum dan aparat penegak hukum harus dilakukan secara struktural dan kultural, layaknya “instal ulang sistem” dalam tubuh lembaga negara.

“Selama hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, rakyat sulit mempercayai negara. Reformasi bukan hanya slogan, tapi harus menjadi tindakan nyata,” tegasnya.

Kantor Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta, bahkan menjadi sorotan publik setelah dipenuhi karangan bunga sindiran dan dukungan kepada Purbaya Yudhi Sadewa.
Sebagian memuji keberaniannya, sebagian lagi menilai langkahnya terlalu populis. Namun bagi Jacob Ereste, fenomena itu merupakan refleksi sosial bahwa bangsa ini tengah berproses untuk mengenali dirinya sendiri.

“Fenomena ini seperti cermin. Ia memaksa kita bertanya: apakah kita sungguh pro rakyat, atau justru pro begundal yang merusak negeri ini?” tutup Jacob Ereste.
---
Penulis: Tim Redaksi (dihimpun dari berbagai sumber terpercaya: GMRI, catatan diskusi, dan pernyataan narasumber)
Editor: Kabar Pers Bhayangkara / NONGKRONG.CO

0/Post a Comment/Comments