GMRI Bahas Propaganda Ekonomi dan Konsepsi Filsafat Surya Binangun dalam Diskusi Rutin




Jakarta, kabarpersbhayangkara.com — Diskusi rutin mingguan Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) pada Kamis–Senin, 23 Oktober 2025, menyoroti langkah-langkah Menteri Ekonomi Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, yang dinilai sebagian kalangan masih bersifat propaganda dan belum memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam forum tersebut, para peserta menyoroti janji pemerintah untuk menolak pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, hingga rencana pemberantasan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai yang dinilai belum menunjukkan hasil konkret.

“Perlawanan terhadap aparat yang jahat dan tidak berpihak kepada rakyat menjadi harapan besar masyarakat,” ujar salah satu peserta diskusi. Mereka juga menilai perlunya percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset, pembatasan fasilitas pejabat berlebih, serta pemanfaatan dana perbankan agar benar-benar berdampak pada ekonomi rakyat.

Selain isu ekonomi, forum GMRI turut menyoroti evaluasi harga BBM, gas LPG, listrik, dan air yang dinilai terlalu membebani masyarakat. “Kebijakan publik harus berpihak kepada rakyat kecil,” ungkap salah satu narasumber.

Topik diskusi juga menyinggung evaluasi terhadap Reformasi Polri, baik dari sisi struktur maupun kultur kelembagaan. Peserta berharap reformasi di tubuh kepolisian tetap berorientasi pada nilai-nilai profesionalitas, keadilan, dan pelayanan publik.
“Reformasi Polri idealnya lahir dari partisipasi masyarakat dan harus menyentuh akar budaya organisasi agar bersih dan humanis,” demikian pandangan yang berkembang di forum tersebut.

Diskusi kemudian berkembang pada ranah filsafat kepemimpinan Jawa, melalui pembahasan konsepsi Surya Binangun yang dikaitkan dengan nilai-nilai moral dan spiritual Nusantara.
Konsep ini diangkat dalam konteks peluncuran Kitab MA HA IS MA YA yang rencananya akan diperkenalkan kepada kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dipelopori oleh Guntur dari Pura Paku Alam.

Menurut Jacob Ereste, nilai Surya Binangun menekankan bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar kekuasaan, tetapi merupakan tanggung jawab moral dan sosial yang berpijak pada etika, welas asih, dan kebijaksanaan.
“Pemimpin sejati adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang memanfaatkan jabatan,” ujarnya.

Sementara itu, Sri Eko Sriyanto Galgendu menegaskan bahwa pemimpin yang berpijak pada nilai Surya Binangun harus bersifat transformatif, bukan eksploitatif.
Dalam konteks budaya keraton, Surya Binangun menjadi legitimasi sakral kekuasaan yang berpijak pada moralitas dan etika sosial universal.

Makna terdalam dari konsep ini, lanjut Jacob Ereste, adalah kesadaran seorang pemimpin terhadap dharma—pengabdian dan ibadah kepada rakyat.
Pemimpin harus menjaga keseimbangan antara langit dan bumi (makrokosmos dan mikrokosmos), agar harmoni antara rakyat, alam, dan spiritualitas tetap terjaga dalam bingkai kehendak Ilahi.

“Konsepsi Surya Binangun menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah kehampaan. Kepemimpinan harus menjadi sarana pengabdian, bukan penguasaan,” tutup Jacob Ereste.(tim/red)

0/Post a Comment/Comments